Bulutangkis, Olahraga Sarat Prestasi Minim Apresiasi, Pantaskah Terpuruk?
Bulutangkis merupakan cabang
olahraga mendarah daging yang sarat akan prestasi Intrernasional, baik dalam
ajang Olimpiade maupun dalam ajang turnamen Internasional. Cabang olahraga
bulutangkis adalah salah satu aset berharga yang dimiliki oleh bangsa ber-Bhineka
Tunggal Ika ini. Tak hanya itu, olahraga dengan bola berbulu angsa ini
merupakan satu-satunya cabang olahraga pendulang emas pada ajang Olimpiade
Internasional sejak tahun 1992-2008. Tak ayal, bulutangkis saat ini dikenal
sebagai tolak ukur kebangkitan cabang olahraga lain di Indonesia.
Ajang Olimpiade Internasional yang
diselenggarakan setiap 4 tahun sekali merupakan parameter seberapa besar
ketangguhan olahraga bulutangkis Indonesia di mata dunia. Tak heran, Indonesia
termasuk negara yang paling disegani di kancah Internasional pada cabang
olahraga bulutangkis. Pasalnya, di ajang Olimpiade, emas seakan sudah menjadi
tradisi yang mutlak diraih oleh para atlet bulutangkis Indonesia di arena
bulutangkis Internasional. Atlet-atlet Indonesia yang pernah menyabet medali
emas di ajang olimpiade, diantaranya adalah Susi Susanti-Alan Budikusuma, yang
dijuluki sebagai pengantin emas Olimpiade, Ricky Subagja/Rexy Mainaki, Tony
Gunawan/ Chandra Wijaya, Taufik Hidayat, dan yang terakhir, pasangan ganda
putra Markis Kido/Hendra Setiawan. Tradisi emas yang diraih Indonesia sejak
tahun 1992-2008 merupakan salah satu dari sekian banyak bukti dan prestasi yang
ditorehkan oleh atlet bulutangkis Indonesia, sehingga mampu mengantarkan merah
putih berkibar pada tiang tertinggi, diiringi dengan lagu Indonesia Raya yang
berkumandang, sehingga mampu menambah
suasana nasionalis dan catatan historis peristiwa tersebut, dan mengantarkan
Indonesia menjadi negara yang menyandang gelar Macan Asia.
Namun, dari sekian banyak torehan
prestasi yang dilukiskan para atlet bulutangkis Indonesia, hal yang miris
justru terungkap pada minimnya apresiasi untuk olahraga tepok bulu ini. Tak
hanya dari pihak pemerintah Indonesia, ketidakakraban pada olahraga bulutangkis
juga dijalin oleh pihak media massa. Dari pihak pemerintah sendiri, respon
negatif diungkapkan melalui minimnya turun tangan pemerintah pada olahraga
bulutangkis. Pemerintah seolah bergerak ‘pasif’ dalam menyongsong olahraga
bulutangkis, jikalau menyangkut masalah dana, pembinaan, dan sejenisnya.
Sedangkan dari pihak media massa yang diharapkan juga turut andil dalam
mendukung olahraga bulutangkis, ternyata berwatak sama seperti pemerintah. Masalahnya,
tayangan-tayangan yang berbau bulutangkis sangat jarang ditayangkan baik
ditelevisi maupun dimuat di media cetak. Hal yang lebih memprihatinkan adalah
menumpuknya tayangan yang berbau tentang sepakbola, bahkan yang lebih banyak
disorot bukan sepakbola di Indonesia, melainkan persepakbolaan mancanegara.
Hal senada juga diungkapkan
pebulutangkis asal Bandung yang mendulang medali emas Olimpiade Athena 2004,
Taufik Hidayat. Taufik mengungkapkan bahwa pemerintah seolah kurang
memperhatikan olahraga bulutangkis,
apalagi jika menyangkut urusan finansial, untuk pembinaan atau
sejenisnya. “Pemerintah selalu meng-anak emaskan sepakbola, sedangkan
bulutangkis dan cabang olahraga lain selalu dianak tirikan”, ungkap atlet kelahiran
1981 itu sedikit sarkastik. Ia juga kembali menegaskan bahwa seharusnya
pemerintah bersikap adil, dan tak perlu
pilih kasih terhadap olahraga sepakbola. Seyogyanya, pemerintah harus
memberikan porsi ataupun intensitas perhatian yang sama pada setiap cabang
olahraga, terutama olahraga yang berprestasi seperti bulutangkis.
Alhasil, di tahun 2012 olahraga
bulutangkis seakan sudah terlanjur merana meratapi nasib keterpurukannya. Ajang
Thomas-Uber Cup 2012, yang diselenggarakan di Wuhan, China dan perhelatan akbar
Olimpiade London 2012 merupakan bukti nyata yang menegaskan bahwa Macan Asia
yang semula mengaum, kini telah tertidur pulas. Mulai dari Thomas-Uber Cup,
yang diselenggarakan di Wuhan, China, Indonesia baik dari sektor tim Thomas
maupun tim Uber keduanya sama-sama mentok di perempat final, dilengserkan oleh
Jepang, negara berbunga Sakura tersebut. Hal tersebut menjadi tamparan keras
bagi olahraga bulutangkis karena merupakan rekor terburuk yang dicatat
perbulutangkisan Indonesia selama 52 tahun terakhir, sebab tak mampu mencicipi
partai final, bahkan babak semifinal sekalipun tak mampu diraih.
Seolah belum berhasil menutup
bekas luka pada ajang Thomas-Uber Cup 2012, luka baru yang tak kalah perihnya
pun justru tetap anteng menghampiri perbulutangkisan Indonesia di tahun kabisat
itu. Pasangan ganda campuran, Ahmad Tontowi dan Liliana Natsir yang semula diklaim
dan diganyang-ganyang dapat menyabet medali emas di Olimpiade London 2012, kini
hanya tinggal ironi belaka. Jangankan medali emas, medali perunggu sekalipun
tak mampu disabet. Pasalnya, pasangan ganda campuran terbaik yang dimiliki
Indonesia itu terlebih dulu keok pada
partai perebutan medali perunggu melawan pasangan Denmark. Kegagalan Ahmad
Tontowi dan Liliana Natsir pada Olimpiade London 2012, mau tak mau mematahkan
tradisi emas bagi olahraga bulutangkis Indonesia yang dibangun sejak ajang
Olimpiade Barcelona tahun 1992. Ditambah lagi dengan skandal kecurangan yang
tercipta di sektor ganda putri ajang Olimpiade London 2012 lalu, mencoreng muka
Indonesia karena pasangan ganda putri Indonesia juga turut terdiskualifikasi.
Pasangan ganda putri yang didiskualifikasi pada ajang Olimpiade London 2012 diantaranya
adalah dua pasangan ganda putri Korea Selatan, yakni Ha Jung Eun/Kim Min Jung
dan Jung Kyun Eun/Kim Ha Na, Yu Yang/Wang Xiaoli dari China, dan Greysia
Polii/Meliana Jauhari dari Indonesia.
Keterpurukan
olahraga bulutangkis Indonesia, disorot banyak pihak sebagai buah kelalaian
dari pihak Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Keterpurukan
tersebut diklaim banyak orang sebagai cambuk dan tamparan keras untuk PBSI,
atas kinerjanya selama ini. Yang lebih miris, PBSI sempat memiliki konflik yang
sama dengan PSSI atau sepakbola, yang cek-cok masalah pergantian ketua umum,
karena Djoko Susilo ketua PB PBSI sebelumnya menolak untuk mengundurkan diri.
Meski demikian, konflik dingin dikalangan pemimpin bulutangkis tersebut
akhirnya menemui jalan keluar dengan menobatkan Gita Wirjawan, sebagai ketua PB
PBSI yang baru sampai saat ini.
Hal yang tak
kalah memilukan juga sepertinya akan menyambut olahraga bulutangkis Indonesia
di masa depan. Mulai dari ajang Sea Games XXVII Myanmar 2013 sampai ajang
Olimpiade tahun 2016. Kabar yang sempat mericuhkan pecinta bulutangis Indonesia
adalah pernyataan yang mengungkapkan bahwa olahraga bulutangkis akan dihapuskan,
atau tidak dipertandingkan di ranah pesta olahraga negara se-Asia Tenggara, Sea
Games XXVII Myanmar 2013 yang diselenggarakan bulan Desember nanti. Hal yang
serupa juga didaulat di ajang Olimpiade 2016, akibat skandal kecurangan dan pendiskualifikasian
dari sektor ganda putri yang menimpa atlet bulutangkis nasional.
Namun, hal yang terpenting adalah
kita sebagai warga negara Indonesia juga harus bersikap kritis, dengan berupaya
melestarikan dan turut mengapresiasi olahraga berprestasi seperti bulutangkis. Seperti
peribahasa yang berbunyi, Air laut asin sendiri maka kitalah yang harus memuji
dan melestarikan olahraga bulutangkis Indonesia. Sebab, jika bukan kita melakukan
hal tersebut, bukan tidak mungkin 2 atau 3 tahun lagi pamor olahraga
bulutangkis Indonesia di kancah Internasional akan meredup dengan sendirinya
secara perlahan-lahan karena kemampuan dan bakat seorang atlet tidak
terfasilitasi dengan baik. Yang tersisa hanyalah penyesalan pelik yang
berbuntut panjang, akibat tak ada satupun cabang olahraga di Indonesia yang
mampu mengumandangkan lagu Indonesia Raya di ajang Olimpiade. Oleh, karena itu
setiap warga negara, pemerintah, termasuk atlet sendiri juga harus turut andil
dalam mengapresiasi olahraga berprestasi seperti bulutangkis, agar sang saka merah
putih tetap berkibar di ranah puncak dan lagu Indonesia Raya masih tetap terdengar
riuh berkumandang.
Komentar
Posting Komentar