SINOPSIS TARI CACI (TARI PERANG NTT)



Tugas seni budaya

    

Sinopsis Tari
Ø  Aspek-aspek dalam sinopsis tari

1.  Nama tarian      :  Tari Caci (Tari Perang Nusa Tenggara Timur)

2.  Nama tempat (keadaan lingkungan tarian tersebut berasal)      :
Caci atau tari Caci atau adalah tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan merupakan ritual Penti Manggarai.

3.  Klasifikasi Tari         :
Tari Caci adalah ritual Penti Manggarai. Upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen yang satu ini dirayakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan momentum reuni keluarga yang berasal dari suku Manggarai. Tari ini dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja) dan ritual tahun baru (penti) , upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.

Ritus penti dimulai dengan acara berjalan kaki dari rumah adat menuju pusat kebun atau Lingko, yang ditandai dengan sebuah kayu Teno. Di sini, akan dilakukan upacara Barong Lodok, yaitu mengundang roh penjaga kebun di pusat Lingko, supaya mau hadir mengikuti perayaan Penti. Lantas kepala adat mengawali rangkaian ritual dengan melakukan Cepa atau makan sirih, pinang, dan kapur. Tahapan selanjutnya adalah melakukan Pau Tuak alias menyiram minuman tuak yang disimpan dalam bambu ke tanah.

Urutan prosesi tiba pada acara menyembelih seekor babi untuk dipersembahkan kepada roh para leluhur. Tujuannya, supaya mereka memberkahi tanah, memberikan penghasilan, dan menjauhkan dari malapetaka. Para peserta pun mulai melantunkan lagu pujian yang diulangi sebanyak lima kali. Lagu itu disebut Sanda Lima.

Usai itu, rombongan kembali ke rumah adat sambil menyanyikan lagu yang syairnya menceritakan kegembiraan dan penghormatan terhadap padi yang telah memberikan kehidupan. Ritual Barong Lodok yang pertama ini dilakukan keluarga besar yang berasal dari rumah adat Gendang. Upacara serupa juga dilakukan keluarga besar dari rumah adat Tambor. Keduanya dipercaya sebagai cikal bakal suku Manggarai.

Sebenarnya, ritual Barong Lodok juga disimbolkan untuk membagi tanah ulayat kepada seluruh anggota keluarga. Tanah yang bakal dibagikan itu mempunyai beragam perbedaan luas, tergantung status sosial. Pembagiannya disimbolkan dengan Moso, yakni sektor dalam Lingko yang diukur dengan jari tangan. Tanah tersebut dibagi berdasarkan garis yang mirip dengan jaring laba-laba. Tua Teno adalah satu-satunya orang yang memiliki otoritas membagi tanah tersebut.


Sehabis Barong Lodok, prosesi berlanjut ke ritual Barong Wae. Di sini, warga kembali akan mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air. Menurut kepercayaan, selama ini roh leluhur itu telah menjaga sumber mata air, sehingga airnya tak pernah surut. Ritual ini juga menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan, yang telah menciptakan mata air bagi kehidupan seluruh warga Desa. Korban yang dipersembahkan adalah seerkor ayam dan sebutir telur.

Rangkaian upacara dilanjutkan dengan ritual Barong Compang. Prosesinya dilakukan di tanah yang berbentuk bulat, yang terletak di tengah kampung. Roh penghuni Compang juga diundang mengikuti upacara penti di rumah adat pada malam hari. Suku Manggarai mempercayai, roh kampung yang disebut Naga Galo selama ini berdiam di Compang.

Bagi suku Manggarai, peranan Naga Galo sangat penting dan amat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya, Naga Galo-lah yang telah melindungi kampung dari berbagai bencana. Mulai dari kebakaran, angin topan, bahkan bisa menghindarkan timbulnya kerusuhan di kampung. Ritual Barong Compang diakhiri dengan langkah rombongan yang masuk ke rumah adat, untuk melakukan upacara Wisi Loce. Di sana, mereka menggelar tikar, agar semua roh yang diundang dapat menunggu sejenak sebelum puncak acara Penti.

Keluarga dari rumah adat Gendang dan Tambor melanjutkan acara Libur Kilo. Prosesi yang satu itu bertujuan mensyukuri kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah adat. Uniknya, upacara tadi dipercaya sebagai upaya membaharui kehidupan bagi seluruh anggota keluarga. Sebab dalam upacara itu, warga yang bermasalah, dapat membangun kembali hubungan keluarga supaya lebih baik lagi.

Puncak acara Penti ditandai dengan berkumpulnya kepala adat kampung, ketua sub klen, kepala adat yang membagi tanah, kepala keluarga, dan undangan dari kampung lain. Mereka berdiskusi membahas berbagai persoalan berikut jalan keluarnya.

Ritual Penti bukan satu-satunya ritual yang kerap dilakukan masyarakat suku Manggarai. Sebab masih ada Caci, olah raga tradisional yang dijadikan tradisi ritual menempa diri. Pentas kolosal pemuda setempat itu diyakini bisa terus menjaga jiwa sportivitas. Maklum, olah raga yang dilakukan tak lain dari pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng. Pertarungan antardua pemuda tersebut selalu dipenuhi penonton dalam setiap pergelaran di lapangan rumput Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai.

4.  Tema (cerita tari)   :
Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema ca nai latang Manggarai atau Satu hati untuk bumi Manggarai. Makna cerita ini mempertegas bahwa caci bukanlah tarian atraksi saling unjuk kekuatan atau kecekatan, melainkan tarian yang menggambarkan keakraban dan persaudaraan. Tarian ini menggambar suka cita masyarakat Manggarai.

5.  Pencipta Tari     : Tidak diketahui

6.  Para penari atau pemusiknya :
Para penari caci semuanya adalah laki-laki tetapi tidak semua lelaki dapat unjuk kebolehan dan keterampilan di arena caci. Terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah tubuh atletis adalah salah satu syarat yang harus dimiliki seorang penari caci. Syarat lainnya, penari harus pandai pula menyerang lawan dan atau bertahan dari serangan lawan, luwes dalam melakukan gerak tari, serta dapat menyanyikan lagu daerah. Hal-hal tersebut yang akan mereka lakukan selama pertunjukkan yang diringi musik gendang, gong, dan nyanyian. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang  memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan  gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat. 

Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci. Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan. Tarian ini dibawakan oleh empat orang dan didukung delapan orang penyanyi tradisional untuk mengiring penampilan grup ini. Empat orang itu adalah Anyok Fanis Sina, Roby Yanuarius, Renold Yoland dan Dolfus Jama.

Mereka yang membawakan atraksi caci ini merupakan gambaran pria Manggarai yang memiliki nyali untuk bertarung. Mereka saling serang dan bertahan, bahkan saling melukai. Namun tidak ada dendam di antara mereka. Yang ada hanya suka cita.
Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus.



7.  Gambaran interaksi dan komunikasi antar pendukung tari, pemusik, penonton, atau masyarakat secara luas.
Saat diadakan pertunjukkan caci, biasanya pesta besar pun dilangsungkan dengan memotong beberapa ekor kerbau kemudian disajikan sebagai makanan bagi para peserta dan  penonton. Biasanya, dua kelompok tari caci merupakan kelompok laki-laki dari dua desa atau kampung. Sorak penonton menggema, memahami makna tetesan darah sebagai persembahan untuk kesuburan dan lambang kejantanan.

8.  Bentuk gerak    :
Seorang laki-laki yang berperan sebagai pemukul (disebut paki) berusaha memecut lawan dengan pecut yang dibuat dari kulit kerbau/sapi yang dikeringkan. Pegangan pecut juga dibuat dari lilitan kulit kerbau. Di ujung pecut dipasang kulit kerbau tipis dan sudah kering dan keras yang disebut lempa atau lidi enau yang masih hijau (disebut pori). Laki-laki yang berperan sebagai penangkis (disebut ta’ang), menangkis lecutan pecut lawan dengan perisai yang disebut nggiling dan busur dari bambu berjalin rotan yang disebut agang atau tereng. Perisai berbentuk bundar, berlapis kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Perisai dipegang dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangan lainnya memegang busur penangkis.
Sebelum tarian seru ini dimulai, pertunjukan tari caci akan diawali terlebih dahulu dengan pentas tari danding atau tandak manggarai. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang  memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan  gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat. 

Pihak penyerang akan menyerang dan mencambuk tubuh lawan, terutama bagian lengan, punggung, dan dada. Tugas pihak lawan adalah menangkis atau menghindari serangan tersebut dengan perisai dan busur yang ia pegang di masing-masing tangan. Apabila kurang lincah mengelak maka dipastikan cambuk akan menyisakan bekas di tubuh hingga berdarah. Apabila pihak yang bertahan terkena cambuk pada matanya maka ia dinyatakan kalah (beke) dan kedua penari harus keluar arena dan digantikan oleh sepasang penari lainnya. 

Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan. Dua di antara empat orang itu saling berhadap-hadapan, seorang diantaranya mengambil posisi siap menyerang sementara yang lainnya mengambil posisi bertahan. Dan, sebelum menyerang, pecut tersebut di kibas-kibas sehingga menyebabkan bunyi-bunyi yang keras dan tajam, tak ubahnya petir. Tidak lama kemudian, seorang di antaranya mengibaskan pecut ke tubuh seorang yang mengambil posisi bertahan dan penoton pun berteriak histeris. Para penari cari terus saja beraksi mengikuti irama musik dan lagu. Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci.
·       Peraturan
Caci dimainkan dua orang laki-laki, satu lawan satu, namun memukul dilakukan secara bergantian. Para pemain dibagi menjadi dua kelompok yang secara bergantian bertukar posisi sebagai kelompok penyerang dan kelompok bertahan. Caci selalu dimainkan oleh kelompok tuan rumah (ata one) dan kelompok pendatang dari desa lain (ata pe’ang atau disebut meka landang yang berarti tamu penantang. Tarian Danding atau tandak Manggarai ditarikan sebagai pembuka pertunjukan caci. Penari caci tidak hanya menari namun juga melecutkan cambuk ke lawan sembari berpantun dan bernyanyi. Lokasi pertandingan caci biasanya di halaman rumah adat.
Bila pukulan lawan dapat ditangkis, maka pecutan tidak akan mengenai badan. Kalau pecutan tidak dapat ditangkis, pemain akan menderita luka. Jika mata terkena cambukan, maka pemain itu langsung dinyatakan kalah (beke), dan kedua pemain segera diganti.
Pertarungan berlangsung dengan diiringi bunyi pukulan gendang dan gong, serta nyanyian (nenggo atau dere) para pendukung. Ketika wakil kelompok bertanding, anggota kelompok lainnya memberi dukungan sambil menari-nari. Tempurung kelapa dipakai sebagai tempat minum tuak yang dipercaya dapat menggandakan kekuatan para pemain dan penonton. Seperti layaknya pertandingan bela diri, sebagian penonton ada mendukung penyerang, sementara sebagian lagi mendukung pemain bertahan. Anggota kelompok atau penonton bersorak-sorak memberi dukungan agar cambuk dilecutkan lebih kuat lagi.

9.  Bentuk iringan :
Para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan  gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat. Iring-iringan musik dari tetabuhan gendang, gong mengeras, tembong, nggong, dan nyayian yang mempengaruhi gerak fisik.


10. Tata rias dan busana    :
Pakaian penarinya yang khas sudah menjadi daya tarik sendiri. Penari perang tersebut mengenakan celana panjang berwarna putih dipadu dengan kain songke (sejenis songket khas Manggarai) yang dikenakan di sebatas pinggang hingga lutut. Tubuh bagian atas dibiarkan telanjang sebab tubuh tersebut adalah sasaran bagi serangan lawan. Pada bagian kepala, para penari mengenakan topeng (panggal) berbentuk seperti tanduk kerbau dan terbuat dari kulit kerbau yang keras serta dihiasi kain warna-warni. Panggal akan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk atau destar sebagai pelindung. 
Para penari biasanya juga mengenakan hiasan mirip ekor kuda terbuat dari bulu ekor kuda (lalong denki). Pada bagian sisi pinggang terpasang sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan. Terdapat pula untaian pada pinggang belakang yang akan bergemirincing mengikuti gerak penari sekaligus penambah semarak musik gendang dan gong serta nyanyian (nenggo atau dere) pengiring tarian. 


Para penari tersebut nampak gagah mengenakan pakaian tersebut ditambah lagi dengan postur tubuh yang atletis. Penampilan mereka sebagai penari perang semakin meyakinkan dengan atribut senjata. Penari yang berperan sebagai penyerang (paki) dipersenjatai dengan cambuk yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang dikeringkan. Pegangan cambuk juga terbuat dari lilitan kulit kerbau. Pada bagian ujung cambuk, biasanya dipasang kulit kerbau tipis yang sudah dikeringingkan (lempa) atau dapat juga menggunakan lidi enau yang masih hijau (pori). 
Untuk pakaian, para penari biasa bertelanjang dada dengan bawahan celana panjang warna putih yang dilapisi sarung songket khas Manggarai berwarna hitam bercorak. Di bagian pinggang, terpasang lalong denki (aksesori berbentuk ekor kerbau yang tegak dilengkapi untaian lonceng yang disebut giring-giring, yang berbunyi ketika para penari bergerak). Di sekujur pinggang juga terdapat sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan.
Mereka menggunakan kain destar untuk menutupi wajah dengan tujuan melindungi dari cambukan. Sebagai penghias kepala, mereka mengenakan panggal yang terbuat dari kulit kerbau berlapis kain warna-warni. Bentuk panggal adalah kerbau. Ini melambangkan bahwa lelaki harus tangguh dan berani, serupa kerbau. Simbolisme terhadap kerbau memang begitu kuat dalam tari caci. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, kerbau adalah hewan terkuat dan terganas di dunia. Di luar itu, bagi masyarakat Manggarai, panggal mengandung arti lima dasar kepercayaan. Bagian tengahnya melambangkan rumah gendang, yaitu pusat persatuan masyarakat Melo tempat terselenggaranya berbagai acara persembahan.

11. Properti yang digunakan   :
Pemain dilengkapi dengan pecut (larik), perisai (nggiling), penangkis (koret), dan panggal (penutup kepala), pelindung dada, pelindung kaki dan lutut (bik). Pemain bertelanjang dada, namun mengenakan pakaian perang pelindung paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan sarung songke (songket khas Manggarai). Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang hingga selutut untuk menutupi sebagian dari celana panjang. Di pinggang belakang dipasang untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan pemain.
Topeng atau hiasan kepala (panggal) dibuat dari kulit kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni. Hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga mata masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan.
Bagian kepala dan wajah pemain hampir seluruhnya tertutup hiasan kepala dan kain sarung (kain destar) yang dililit ketat di sekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan mata dari cambukan. Seluruh kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan, kecuali bagian tubuh dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang menjuntai dari sabuk pinggang. Kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang terbuka adalah sasaran cambuk. Caci juga sekaligus merupakan medium pembuktian kekuatan seorang laki-laki Manggarai. Luka-luka akibat cambukan dikagumi sebagai lambang maskulinitas.
Caci penuh dengan simbolisme terhadap kerbau yang dipercaya sebagai hewan terkuat dan terganas di daerah Manggarai. Pecut melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Perisai melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, serta dunia. Ketika cambuk dilecutkan dan mengenai perisai, maka terjadi persatuan antara cambuk dan perisai.
Bagi orang Kabupaten Manggarai, caci merupakan pesta besar. Desa penyelenggara memotong beberapa ekor kerbau untuk makanan para peserta dan penonton.



Komentar

Postingan Populer